TEORI
MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara
revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat
beragam. Menurut para sejarawan, teoriteori tentang kedatangan Islam ke
Indonesia dapat dibagi menjadi:
a. Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah
langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah
atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim
Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia.
Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan
pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia
menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam
datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab.
Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal
Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab
tidak dilandasi oleh nilainilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi
spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara
Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang
banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis
orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat,
kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan
keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka
dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu
agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam
dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H.
Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah
melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu
tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
b. Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal
dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India
bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori
ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan
teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19.
Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan
Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam
ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan
pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur,
termasuk Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan
oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya,
Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India.
Orangorang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia
dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang
Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan
adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau
“syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912)
yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Salehyang
wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu
nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di
Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di
Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut
diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang
Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah
kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia
c. Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal
dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya,
Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain:
tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam
tradisitabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut”
(keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara
ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj
dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat
karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad)
dan membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan
Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi
pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia.
Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama
seperti kebanyak muslim di Iran.
d. Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya
di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan
masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa
Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk
Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di
Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al
Qurtuby dalam bukunyaArus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut
kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam
pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori
Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal
(babad dan hikayat), dapat diterima.
Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam
pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan
Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang
termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan
gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah
Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”.
Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari
Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur
Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di
Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik,
misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut
dan pedagang Cina.
Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan
tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing
teori tersebut. Meminjam istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan
Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas.
Posted
by : wiwi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar